Ia senantiasa membagi cintanya pada malam, pada suhu di ambang batas juga segerombolan manusia-manusia yang mulai lupa dengan didihan neraka. Jalan-jalan yang ia jejaki selaksa lorong-lorong yang hambar, serupa terowongan yang ramai oleh nyanyian ringkih dan gelak tawa tak berpenghabisan. Sekali lagi hanya pada malam ia berkawan. Bahkan, ia mulai bersatu bersama bulan bintang demi mengubur alunan ringkih juga gelak tawa dari manusia-manusia yang lupa itu.
Pekerjaannya sebenarnya sederhana; guru ngaji. Setiap senja menyeruak di ufuk barat. Ia siapkan perangkat mengajarnya. Mengasuh anak-anak kampung yang masih ingusan, anak-anak yang bahkan tidak tahu cara memakai jilbab atau bersarung. Sudah cukup lama ia tenggelam dalam aktifitas yang menjenuhkan ini, sejak usianya baru 20 tahun dan kini ia menginjak 61 tahun. Amat lama. Bosan tentu, tapi keistiqomahannya masih perkasa di dadanya.
Ia berangkat setiap siang, mengajar Al-Qur’an di pondok bambu kecil yang dulunya hanya gudang. Pondok itu terlihat tertata kini. Sekat-sekat kayu membatasi antar kelas mengaji. Pak Basri, begitu orang menyebutnya tengah mendidik sekitaran 30 murid. Sangat mudah mengenali kedatangan Pak Basri, parfumnya khas dan sudah tercium dari jauh. Bahkan entah oleh sebab apa, wajahnya selalu menyimpan aura bersinar yang tidak pernah usai cahyanya sejak dulu.
Di salah satu kelas pondok bambu inilah ia tak jemu mengajar dan menutur huruf-huruf hijaiyah. Mengherankan di benak orang-orang kampung itu. Kenapa beliau sejak usia 20 tahun hanya mengajar huruf hijaiyah saja. Tidak mengajar ilmu agama yang lain. Padahal di pondok bambu tersebut ada kelas hadits, tafsir dan cabang yang lain.
“Jangan tertipu pandangan luar saja” ujar Ibu padaku. “Pak Basri seorang lelaki yang pandai mengendalikan hatinya. Ia mengajar huruf-huruf hijaiyah bukan berarti ia bodoh. Ilmunya selangit. Ia lakukan semua itu hanya untuk menggali lebih dalam sisi kerendah-hatian dalam kalbunya. Ia sedang, akan, bahkan selalu memapah hatinya agar tak terlalu terbang tinggi lantas terjatuh.”
Namun orang-orang kampung masih gemar tersenyum miring. Sunggingan mereka penuh sinis. Tatapan mata mereka meleleh. Kepercayaan mereka pada Pak Basri menguap, mengambang dan terbang entah kapan akan pulang. Pak Basri diletakkan di sudut teruncing dari bola mata mereka. Tak dianggap dengan baik. Tawa mereka semakin keras sepanjang malam. Lupa akan jilatan api neraka, juga lupa pada anak-anak mereka yang mulai pandai mengaji.
“Punya pondok masak bisanya cuma membaca Al-Qur’an? Haha” Ujar seorang di warung.
“Tapi dia dulu sempat nyantri sepuluh tahun Bang” Kata yang seorang lagi.
“Ya nyantri kan belum tentu belajar. Barangkali cuma jaga kambing Kiai. Hahaha” Sambut yang lain diikuti dengan tawa yang melengking. Serempak. Memecah keheningan malam.
Malam semakin larut, seperti orang-orang yang larut dalam tawa. Mereka asik terpingkal-pingkal. Mereka larut dalam kesenangan yang membuai. Di hatiku sendiri, aku masih menyimak baik-baik kata Ibu. Bahwa Pak Tua berkopiyah hitam itu seseorang yang pandai. Meski sorot matanya layu, terlihat penuh ragu.
Hingga tiba pada suatu hari dimana tawa mereka semakin menggelegar, menggema, menimbulkan gemuruh yang membuat hari-hari menjadi bising. Kedatangan Ustadz Ramdhan yang berisitrikan anak Pak Muhammad membuat dada manusia-manusia itu mengembang. Semakin nyata sudah bahwa ilmu Pak Basri hanya huruf-huruf Hijaiyah. Ustadz Ramdhan yang belia dan jebolan Timur Tengah itu menggelar pengajian setiap minggu. Pak Basri berguru, berada di barisan terdepan selalu.
Tentang hal ini. Aku berkeluh pada ibu.
“Pak Basri sekarang sangat aktif ikut pengajian asuhan Ustadz Ramdhan Bu. Selalu di barisan terdepan”
“Subhanallah… Pak Basri itu”
“Kenapa Bu? Orang-orang merasa heran. Bukannya Ustadz Ramdhan yang berguru. Ini kok justru Pak Basri yang berguru”
Ibu hanya berujar suatu saat aku akan tahu bahwa Pak Basri adalah seorang raja bagi dirinya. Dengan segala tanda-tanda yang terpancar, kelak, entah kapan. Ibu seolah menyuguhkan padaku teka-teki dan membiarkanku sempoyongan memecahkannya. Teka-teki misterius yang susah dipahami oleh anak SD sepertiku ini.
Lambat laun, Pak Basri semakin rajin menghadiri pengajian Ustadz Ramdhan. Matanya berbinar-binar mendengar ceramah. Semangatnya merekah. Kepalanya menunduk khidmat menyimak baris demi baris ilmu dan petuah yang meluncur dari bibir Ustadz belia ini. Bahkan Pak Basri tak jarang bertanya tentang persoalan hidup yang dirasa susah ia pecahkan. Maka tak ayal terjalinlah ikatan yang rekat antar keduanya. Pertemanan lelaki muda dan Pak tua itu semakin hangat dan berlanjut dari hari-hari. Sampai Pak Basri jatuh sakit.
Tapi nyatanya, hingga detik-detik Pak Basri terkulai lemah karena sakit, Ustadz Ramdhan hanya mengenal Pak Basri sebatas sebagai guru mengaji huruf hijaiyah. Namun ada yang mengganjal di hatinya mengenai sesuatu yang terjadi pada Pak Basri. Ya, pernah suatu malam Ustadz Ramdhan merasa aneh dengan sesuatu yang terjadi pada diri Pak Basri.
Malam itu, selepas sholat Tahajud Ustadz Ramdhan berjalan-jalan di sekitar kampung yang masih dingin dan sunyi itu. Dari kejauhan, ia melihat sosok Pak Basri dengan langkah gontainya yang lemas. Jalannya terhuyung-huyung sembari menunduk-nunduk. Persis seperti ketika ia mendengar ceramah Ustadz Ramdhan. Bukan sampai di situ. Benar, bukan cukup itu saja sebab ada yang lebih mengejutkan. Yaitu seseorang di samping Pak Basri yang putih bercahaya. Cahayanya menyemburat, semakin lama, semakin terang dan menyilaukan mata. Ustadz Ramdhan pun berlari sekencang mungkin menuju rumahnya untuk menghindari cahaya itu.
Keesokan harinya, saat ditanya oleh Ustadz Ramdhan tentang kejadian semalam. Jawaban Pak Basri sungguh sangat sederhana, bahkan masih menyisakan segunung penasaran di benak Ustadz Ramdhan.
“Cahaya? saya semalam tidur kok Ustadz. Tidak berpergian kemanapun”
Cerita tersebut tersiar hebat di kampung. Ada yang percaya ada yang menganggapnya bualan. Bahkan Ibu yang hanya bisa duduk di kasur pun mendengar kasak-kusuk cahaya Pak Basri. Ia katakan padaku.
“Dia seorang yang mulia, Nak” Ujarnya sembari merebahkan tubuhnya di kasur. Pipinya terlihat sembab. Air matanya menganak sungai mengenang gurunya, Pak Basri.
“Dia seorang lelaki yang kuat. Ia tegar mengendalikan hatinya. Apa yang ia lakukan dengan mengajar huruf-huruf Hijaiyah semata-mata bukan karena ia tak mampu. Ia hanya sedang menaklukkan hatinya. Ia Sedang menempa hatinya. Meluluhlantakkan kesombongan-kesombongan pada dirinya” Lanjut Ibu.
Ibu sepertinya amat rindu dengan gurunya itu. Tapi sakit stroke yang menderanya, membuatnya hanya bisa terbujur lemas di kasur. Ibu sering bercerita bahwa ia iba melihat guru ngaji masa kecilnya itu hidup sebatang kara di rumah reot miliknya. Sebab anak tunggal dan istrinya meninggal. Bukan hanya Ibu satu-satunya murid Pak Basri. Ada enam lagi, tapi mereka sudah pergi dan merantau ke negeri yang lain. Tinggal Ibu yang tersisa.
***
Pak Basri dua bulan kemudian wafat. Jenazah dimakamkan di komplek pemakaman warga. Ia meninggal dengan menyisakan misteri-misteri, di hatiku khususnya. Mungkin juga di hati orang-orang kampung yang tawanya meluber setiap malam itu. Misteri itu tentu tentang cahaya itu. Apapun itu, dua hari kemudian Ustadz Ramdhan mengajak Pak RT dan masyarakat di kampung itu untuk pergi ke rumah Pak Basri yang kosong. Ia hampiri sebuah almari reot di rumah itu. Ia pinta kepada beberapa warga untuk membuka almari itu.
Dan benar kata Ibu “Lelaki tua itu seorang yang mulia Nak”. Dia memang mulia. Dia telah menjadi raja bagi hatinya. Dia sedang menghancurkan berhala-berhala kesombongan di bilik-bilik kalbunya. Setidaknya setelah orang-orang kampung terharu bahkan menangis. Sebab di almari itu Pak ‘Kiai’ Basri telah mengarang banyak kitab; tafsir, hadist, fiqh, tarikh dan berpesan pada Ustadz Ramdhan dalam mimpi untuk disebarkan.
“Benar Bu, dia seorang raja bagi hatinya” Setelah itu, tak ada gelak tawa lagi di kampungku.
Kamar Sepi, Selasa, 11 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar