Catatan Tentang Orang-orang yang Terasing




Di sela-sela rutinitas yang tak begitu mengekang, di Al-Hikmah dulu. Seringkali saya menyisihkan banyak waktu untuk menulis, menulis apa saja. Karena sayang rasanya jika waktu yang kosong itu hanya diisi dengan obrolan-obrolan tidak penting, menonton TV, atau browsing FB, Twitter, Yahoo Messenger dan lain sebagainya. Diantara catatan-catatan yang saya tulis ada beberapa di antaranya, yang saya simpan, ada pula yang saya posting melalui FB. Di antara catatan-catatan yang ada, inilah salah satunya. 

***
Api sejarah mulai berkobar. Muhammad, sosok Pria yang mulia itu mendapat kecaman keras dari orang-orang di sekitarnya. Tidak seorangpun mengira, lelaki yang lugu dan terkenal jujur itu tiba-tiba memproklamirkan dirinya sebagai seorang Nabi. Ia menyebarkan ajaran baru yang sama sekali berbeda dengan apa yang dulu pernah diajarkan oleh nenek moyang bangsa Quraisy. Muhammad berdiri melawan keramaian kuffar dan ia berjuang meskipun harus diasingkan. Pada akhirnya, Muhammad kemudian diasingkan, dibenci, dikucilkan bahkan ia disakiti.

Tapi ia bersabar, dalam hati ia berujar “Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka sungguh mulia orang-orang yang terasing” begitu kata Muhammad, kata yang sejuk didengarkan dan cukup menenangkan jiwa sahabat-sahabatnya.

Dalam keadaan sepi dan terasing, mereka diam-diam mulai menyulam sebuah semangat. Dalam sepi dan keterasingan Muhammad SAW, Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf, Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabatnya mulai belajar mengurai suatu pencerahan. Mereka memang terasing, tapi hati mereka lapang dan penuh cahaya cinta pada Sang Ilahi.

Dan sikap sabar mereka membuahkan simpati dari banyak kalangan. Terbukti pada tahun ke 5 kenabian, Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib membai’at dirinya sebagai seorang Muslim. Sungguh, di kalangan Quraisy kala itu, tidak ada yang lebih ditakuti oleh mereka daripada Umar dan Hamzah. Sehingga Islam yang awalnya terasing, pelan-pelan mulai bangkit.
.
Islam memang terasing, tapi siapa yang akan menyangka bahwa dua imperium terbesar di dunia kala itu –Romawi dan Persia, berhasil mereka bungkam begitu saja. Komunitas yang diasingkan itu justru mampu mengangkangi dominasi dua kekuasaan adigdaya yang pernah ada dalam sejarah, sehingga semua orang terkesima dan takjub dengan prestasi yang ditelurkan oleh Muhammad. Sebab Muhammad, telah membentuk sebuah perkumpulan yang awalnya diasingkan menjadi sebuah khilafah dunia yang disegani oleh berbagai bangsa. Sehingga teringat kembali kita pada pesan Kakek Husain ra ini  “Sungguh mulia orang-orang yang terasing”.
***
Itulah sekelumit cerita, bahwa perasingan tidak selamanya buruk. Terlebih jika perasingan itu dilandasi atas sebuah kesalahpahaman, seperti halnya orang-orang Quraisy yang salah paham terhadap Muhammad SAW. Dan hal ini sering dijumpai dan kerap menimpa tokoh-tokoh besar dunia.

HAMKA misalnya, di negeri ini siapa yang meragukan kesabaran seorang HAMKA? Ulama Minangkabau ini pernah dipenjara pada masa rezim Soekarno. Ia dianggap pro Malaysia dan terlibat makar pembunuhan Presiden. Tapi sampai hukuman penjara tersebut tuntas dalam jangka waktu 2 tahun 4 bulan, tidak ditemukan satupun bukti yang menunjukkan bahwa beliau terlibat makar. Hal ini semakin menunjukkan kesalahan dan kelengahan Soekarno dalam mengambil keputusan, ia memprediksi sesuatu yang ternyata meleset. HAMKA tidak pernah bersalah dan tidak seharusnya mendapat hukuman semacam itu.

Namun Soekarno bukan Tuhan, ia hanyalah manusia biasa yang terkadang diliputi emosi dalam mengambil sebuah keputusan. Dan tentunya, sebaik-baik hakim adalah Allah (Wallahu Khaoirul Hakimin) demikian Al-Qur’an menjelaskan, sehingga meskipun divonis sebagai tersangka, tidak tampak sedikitpun gurat penyesalan dari wajah HAMKA. Ia sadar bahwa yang menghukum dia hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, sedangkan di mata Allah Yang Mahakuasa ia tetaplah muslim yang saleh.

Itu adalah poin pertama, bahwa tokoh-tokoh besar sering dihukum atas kesalahan yang sebenarnya tidak ia perbuat. Hukuman tersebut bisa muncul karena kelengahan si pemberi hukuman, toh pemberi keputusan hukuman itu juga manusia biasa, bukan Tuhan, sehingga tak seharusnya ditakuti. Bukankah seorang yang beragama akan meletakkan pandangan Allah melebihi pandangan manusia? Bolehlah di mata rakyat Indonesia HAMKA dianggap bersalah, tapi di mata Allah, ia tetaplah seorang Buya yang patuh terhadap ajaran-ajaran agama.
***
Kekuatan prinsip agama HAMKA memang patut diacungi jempol, dalam keadaan terhimpit dan disudutkan seperti ini, ia tetap saja tabah dan tidak memberontak. Subhanallah, bisa dibayangkan betapa HAMKA ketika itu berada pada puncak kesedihannya, ia tak bisa berjumpa dengan istri dan anak-anaknya. Ia merelakan semua kebahagiaannya demi menjalani hukuman dari kesalahan yang sebenarnya tidak ia perbuat.

Dan keluarbiasaan HAMKA dalam bersabar serta bertawakkal kepada Sang Maha Raja memang terbukti. Bayangkan, dalam masa-masa yang sulit dan penuh air mata itu ia berhasil merampungkan dan menuntaskan sebuah buku tafsir 30 juz yang ia namai Al-Azhar. Ia menjadi mufassir yang berkarya dalam kesedihan, lembar demi lembar ia selesaikan dalam penjara yang pengap itu. Ia lupakan sejenak keluarganya, ia usap derai air mata yang menetes tiap waktu, bahkan sekejap ia menghilangkan bayang-bayang sahabatnya, Soekarno yang tak ia sangka bisa bertindak sekejam ini.

Tafsir Al-Azhar menjadi maha karya yang naik cetak beberapa kali. Tafsir Al-Azhar menjadi bukti akan ketabahan HAMKA dalam menyelesaikan hukuman. Tafsir Al-Azhar telah menjadi kawan yang menghiburnya di masa-masa yang susah itu. Dan di akhirat nanti, Tafsir Al-Azhar akan menjadi saksi dari ketabahan dan ketegaran seorang hamba Allah yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini.

Itulah poin kedua, bahwa dalam keadaan terhimpit dan diasingkan kita tak seharusnya menyerah. Justru di saat-saat yang demikianlah kita sebenarnya berkesempatan untuk membuktikan eksistensi kita. HAMKA telah mengatakan pada orang-orang yang telah melukai perasaannya bahwa ia, tetap hidup dan terus berkarya meskipun ia dikucilkan. HAMKA membuktikan bahwa Soekarno bukanlah Tuhan yang dapat “membunuh”-nya, karena Soekarno hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Sehingga dalam hatinya, getar keilahian terus berdenyut dan menyemburatkan sebuah keyakinan bahwa siapapun Soekarno, Allah tetaplah Tuhan Yang Maha Melihat.

***
Inilah keistimewaan HAMKA, sesudah ia dilukai perasaannya oleh Soekarno. Ia tak memendam dendam sedikitpun pada Presiden pertama Indonesia ini. Bahkan pada prosesi pemakaman jenazah Soekarno, ia turut datang dan menjadi Imam sholat Jenazah. Terlupa olehnya bagaimana Soekarno dulu begitu keji memfitnahnya, bagaimana Soekarno yang selama ini ia anggap sahabat begitu tega menyayat hatinya. Tapi meski demikian tanpa ragu ia berdiri tegak mengimami para pelayat dan menyolati jasad sahabatnya itu.

Dari sini HAMKA mulai menapaki jalan-jalan keikhlasan. HAMKA telah berada pada keagungan nilai keikhlasan, ia tanggalkan segenap kemarahannya, ia balut kekecewaan pada sahabatnya dengan sebuah kesabaran. HAMKA telah membalas kejelekan sesorang dengan sebuah kebaikan. Ia lebih memilih falsafah “Api dibalas dengan Air” daripada “Asyarru bi As-Syarri”. Sehingga sikapnya itu menjadi air paling sejuk bagi sejarah kehidupan ma.

Bagi HAMKA, sekejam apapun Soekarno Ia tetaplah sahabat HAMKA. Dan sebagai muslim yang taat ia sudah semestinya meneladani pribadi Nabi Muhammad yang pemaaf itu. Maka dilandasi atas semua prinsip itulah HAMKA akhirnya memaafkan sahabatnya. Para wartawan dibuat terenyuh saat menyimak kata-kata HAMKA yang mengatakan telah memaafkan Soekarno. Seperti halnya Iwan Simatupang pernah terharu dan meneteskan air mata saat HAMKA berjuang mempertahankan pemublikasian karya-karya Pramoedya yang selama ini kerap memusuhinya. “Saya sudah memaafkan Pram” Ujar HAMKA.

Disamping itu, beberapa kalangan juga memprediksi bahwa sejujurnya HAMKA tak menyesalkan sikap Soekarno. Karena berkat ia dipenjara, ia berhasil merampungkan Tafsir Al-Azhar. Mengingat kesibukannya yang padat dan statusnya sebagai aktivis politik, sehingga diperkirakan beliau tidak akan mampu menyelesaikan Tafsir Al-Azhar itu jika berada di alam bebas -dengan jadwal kegiatan yang menumpuk dan harus dikerjakannya setiap harinya.

Maka dari kacamata itulah HAMKA melihat sebuah hikmah, benar kata Allah bahwa “Tidak selamanya yang kita benci itu buruk” karena HAMKA telah mempelajari sisi positif dari keadaan yang sepintas terlihat buruk ini. Sehingga ia menjadi sosok Ulama yang selalu dikenang oleh mastarakat hingga decade sekarang ini.

Demikianlah poin ketiga. Bagaimana kita tidak memendam dendam pada siapa saja yang telah melukai perasaan kita. karena memaafkan kesalaan orang lain tetaplah menjadi sandaran seorang muslim dalam menjalankan roda kehidupan. Apalagi kita bersedia mengucapkan terimakasih pada sosok yang telah membuat kita sedih. Karena bukankah sebenarnya orang yang menyakiti hati kita telah membuat kita sedikit-banyak belajar arti kesabaran?.

Dan HAMKA telah lahir dari keterasingan, Muhammad SAW juga dulu pernah diasingkan, Ayatullah Khomeini pemimpin Iran itu juga sempat diasingkan pada masa rezim Reza Pahlevi. Abu Dzar Al-Ghiffari juga diasingkan di gurun tandus. Mereka adalah tokoh-tokoh yang diabadikan oleh sejarah dan telah melewati masa sulit dalam keterasingan mereka. Maka sungguh bahagia orang-orang yang diasingkan, karena ia telah melalui sebuah masa yang dulu juga pernah dilalui oleh Tokoh-tokoh besar dunia.
                                    

0 komentar:

Posting Komentar

http://albarnation.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-slide-show-di-blog.html#ixzz2NQNHNucp